Referral Banners
Toko Buku Online Terlengkap

31 Mei, 2009

Etika Pedagang Muslim

Sahabat Netter....barusan saya dapat suatu artikel yang bagus dari Mas Haryo Prabowo yang kebetulan mentor saya dalam belajar bisnis online, berikut artikel selengkapnya....
Posted by Haryo Prabowo
Anda berminat berbisnis online, spesifiknya : menjadi seorang internet marketer?
Ingin menjual produk Anda di internet, entah itu software, buku, pakaian, kendaraan, properti atau lain sebagainya? Bagus! 9 dari 10 pintu rezeki itu memang dari berdagang.
Tapi sudahkah Anda menjalankan etika bisnis yang baik dan benar? Sudahkah Anda menjalankan proses bisnis yang lurus dalam perdangangan Anda? Jika belum, maka perbaikilah. Jika sudah, tingkatkanlah.
Berikut sebuah artikel hasil copy paste dari blog tetangga, insyaaAllah isinya bagus sekali untuk diaplikasikan dalam kehidupan bisnis Anda. Terutama Anda, para internet marketer :-)
Etika Pedagang Muslim

diambil dari

http://pengusahamuslim.comhttp://suryadhie.wordpress.com/

Islam memang menghalalkan usaha perdagangan, perniagaan dan atau jual
beli. Namun tentu saja untuk orang yang menjalankan usaha perdagangan
secara Islam, dituntut menggunakan tata cara khusus, ada aturan
mainnya yang mengatur bagaimana seharusnya seorang Muslim berusaha di
bidang perdagangan agar mendapatkan berkah dan ridha Allah SWT di
dunia dan akhirat.

Aturan main perdagangan Islam, menjelaskan berbagai etika yang harus
dilakukan oleh para pedagang Muslim dalam melaksanakan jual beli. Dan
diharapkan dengan menggunakan dan mematuhi etika perdagangan Islam
tersebut, suatu usaha perdagangan dan seorang Muslim akan maju dan
berkembang pesat lantaran selalu mendapat berkah Allah SWT di dunia
dan di akhirat. Etika perdagangan Islam menjamin, baik pedagang maupun
pembeli, masing-masing akan saling mendapat keuntungan.

Adapun etika perdagangan Islam tersebut antara lain:

1. Shidiq (Jujur)

Seorang pedagang wajib berlaku jujur dalam melakukan usaha jual beli.
Jujur dalam arti luas. Tidak berbohong, tidak menipu, tidak
mcngada-ngada fakta, tidak bekhianat, serta tidak pernah ingkar janji
dan lain sebagainya. Mengapa harus jujur? Karena berbagai tindakan
tidak jujur selain merupakan perbuatan yang jelas-jelas berdosa, –jika
biasa dilakukan dalam berdagang– juga akan mewarnal dan berpengaruh
negatif kepada kehidupan pribadi dan keluarga pedagang itu sendiri.
Bahkan lebih jauh lagi, sikap dan tindakan yang seperti itu akan
mewarnai dan mempengaruhi kehidupan bermasyarakat.

Dalam Al Qur’an, keharusan bersikap jujur dalam berdagang, berniaga
dan atau jual beli, sudah diterangkan dengan sangat jelas dan tegas
yang antara lain kejujuran tersebu –di beberapa ayat– dihuhungkan
dengan pelaksanaan timbangan, sebagaimana firman Allah SWT: “Dan
sempurnakanlah takaran dan timbangan dengan adil”. (Q.S Al An’aam(6): 152)

Firman Allah SWT:
“Sempurnakanlah takaran dan janganlah kamu termasuk orang-orang yang
merugikan, dan timbanglah dengan timbangan yang lurus. Dan janganlah
kamu merugikan manusia pada hak-haknya dan janganlah kamu merajalela
di muka bumi ini dengan membuat kerusakan.” (Q.S AsySyu’araa(26): 181-183)

“Dan sempurnakanlah takaran apabila kamu menakar, dan timbanglah
dengan neraca yang benar. ItuIah yang lebih utama (bagimu) dan lebih
baik akibatnya.” (Q.S Al lsraa(17): 35)

“Dan tegakkanlah timbangan itu dengan adil dan janganlah kamu
mengurangi neraca itu.” (Q.S Ar Rahmaan(55): 9)

Dengan hanya menyimak ketiga ayat tersebut di atas, maka kita sudah
dapat mengambil kesimpulan bahwa; sesungguhnya Allah SWT telah
menganjurkan kepada seluruh ummat manusia pada umumnya, dan kepada
para pedagang khususnya untuk berlaku jujur dalam menimbang, menakar
dan mengukur barang dagangan. Penyimpangan dalam menimbang, menakar
dan mengukur yang merupakan wujud kecurangan dalam perdagangan,
sekalipun tidak begitu nampak kerugian dan kerusakan yang
diakibatkannya pada manusia ketimbang tindak kejahatan yang lehih
besar lagi seperti; perampokan, perampasan, pencu rian, korupsi,
manipulasi, pemalsuan dan yang lainnya, nyatanya tetap diharamkan oleh
Allah SWT dan Rasul-Nya. Mengapa? Jawabnya adalah; karena kebiasaan
melakukan kecurangan menimbang, menakar dan mengukur dalam dunia
perdagangan, akan menjadi cikal baka! dari bentuk kejahatan lain yang
jauh lebih besar. Sehingga nampak pula bahwa adanya pengharaman serta
larangan dari Islam tersebut, merupakan pencerminan dan sikap dan
tindakan yang begitu bijak yakni, pencegahan sejak dini dari setiap
bentuk kejahatan manusia yang akan merugikan manusia itu sendiri.

Di samping itu, tindak penyimpangan dan atau kecurangan menimbang,
menakar dan mengukur dalam dunia perdagangan, merupakan suatu
perbuatan yang sangat keji dan culas, lantaran tindak kejahatan
tersebut bersembunyi pada hukum dagang yang telah disahkan baik oleh
pemerintah maupun masyarakat, atau mengatasnamakan jua! beli atas
dasar suka sama suka, yang juga telah disahkan oleh agama.

Jika penampokan, pencurian, pemerasan, perampasan, –sudah jelas–
merupakan tindakan memakan harta orang lain dengan cara batil, yang
dilakukan dengan jalan terang-terangan. Namun tindak penyimpangan dan
atau kecurangan dalam menimbang, menakar dan mengukur barang dagangan,
merupakan kejahatan yang dilakukan secara sembunyi-sembunyi. Sehingga
para pedagang yang melakukan kecurangan tersebut, pada hakikatnya
adalah juga pencuri, perampok dan perampas dan atau penjahat, hanya
mereka bersembunyi di balik lambang keadilan yakni, timbangan, takaran
dan ukuran yang mereka gunakan dalam perdagangan. Dengan demikian,
tidak ada bedanya! Mereka sama-sama penjahat. Maka alangkah kejinya
tindakan mereka itu. Sehingga wajar, jika Allah SWT dan Rasul-Nya
mengharamkan perbuatan tersebut, dan wajar pula jika para pelakunya
diancam Allah SWT; akan menerima azab dan siksa yang pedih di akhirat
kelak, sebagaimana Firman Allah SWT dalam Al Qur’an:

“Kecelakaan besarlah bagi orang-orang yang curang, (yaitu) orang-orang
yang apabila menerima takaran dari orang lain, mereka minta dipenuhi,
dan apabila mereka menakar atau menimbang untuk orang lain, mereka
mengurangi. Tidakkah orang-orang ini menyangka, bahwa sesungguhnya
mereka akan dibangkitkan, pada suatu hari yang besar, (yaitu) hari
(ketika) manusia berdiri menghadap Tuhan Semesta Alam ini.” (Q.S Al
Muthaffifiin (83): 1-6)

Selain ancaman azab dan siksa di akhirat kelak –bagi orang-orang yang
melakukan berbagai bentuk penyimpangan dan kecurangan dalam menakar,
menimhang dan mengukur barang dagangan mereka–, sesungguhnya Al Qur’an
juga telah menuturkan dengan jelas dan tegas kisah onang-orang Madyan
yang terpaksa harus menerima siksa dunia dari Allah SWT, lantaran
menolak peringatan dari Nabi mereka Syuaib as.

“Dan (Kami telah mengutus) kepada penduduk Madyan saudara mereka
Syuaib. Ia berkata:”Hai kaumku, sembahlah Allah, sekali-kali tidak ada
Tuhan bagimu selain-Nya. Sesungguhnya telah datang kepadamu bukti yang
nyata dari Tuhanmu. Maka sempurnakanlah takaran dan timbangan dan
janganlah membuat kerusakan di muka bumi sesudah Tuhan memperbaikinya.
Yang demikian itu lebih baik bagimu jika betul-betul kamu orang-orang
yang beriman”. (Q.S Al A’raaf(7): 85)

Firman Allah SWT:
“Dan tatkala datang azab Kami, Kami selamatkan Syuaib dan orang-orang
yang beriman bersama-sama dia dengan Rahmat dari Kami, dan orang-orang
yang zalim dibinasakan oleh satu suara yang mengguntur, lalu jadilah
mereka mati bergelimpang an di temnpat tinggalnya.” (Q.S Hud(11): 94)

Kedua ayat tersebut di atas, hendaknya menjadi peringatan bagi kita,
bahwa ternyata perbuatan curang dalam menimbang, menakar dan mengukur
barang dagangan, sama sekali tidak memberikan keuntungan, kehahagiaan
bagi para pelakunya, bahkan hanya menimbulkan murka Allah. Sedangkan
azab dan siksa serta hukuman bagi para pelaku kejahatan tersebut,
nyatanya tidak selalu diturunkan Allah SWTI kelak dii akhirat saja,
namun juga diturunkan di dunia.

Oleh sebab itu, Rasulullah SAW –dalam banyak haditsnya–, kerapkali
mengingatkan para pedagang untuk berlaku jujur dalam berdagang.

Sabda Rasulullah SAW:
“Wahai para pedagang, hindarilah kebohongan”. (HR. Thabrani)

“Seutama-utama usaha dari seseorang adalah usaha para pedagang yang
bila berbicara tidak berbohiong, bila dipercaya tidak berkhianat, bila
berjanji tidak ingkar, bila membeli tidak menyesal, bila menjual tidak
mengada -gada, bila mempunyai kewajiban tidak menundanya dan bila
mempunyai hak tidak menyulitkan”. (HR. Ahmad, Thabrani dan Hakim)

“Pedagang dan pembeli keduanya boleh memilih selagi belum berpisah.
Apabila keduanya jujur dan terang-terangan, maka jual belinya akan
diberkahi. Dan apabila keduanya tidak rnau berterus terang serta
berbohong, maka jual belinya tidak diberkahi.” (HR. Bukhari dan Muslim)

Rasulullah SAW menegaskan pula, bahwa pedagang yang jujur dalam
melaksakan jual beli, di akhirat kelak akan ditempatkan di tempat yang
mulia. Suatu ketika akan bersama- sama para Nabi dan para Syahid.
Suatu ketika di bawah Arsy, dan ketika lain akan berada di suatu
tempat yang tidak terhalang baginya masuk ke dalam surga.

Sabda Rasulullah SAW:
“Pedagang yang jujur serta terpercaya (tempatnya) bersama para Nabi,
orang-orang yang jujur, dan orang-orang yang mati Syahid pada hari
kiamat”. (HR. Bukhari, Hakim, Tirmidzi dan Ibnu Majjah)

“Pedagang yang jujur di bawah Arsy pada hari kiamat”. (HR. Al-Ashbihani)

“Pedagang yang jujur tidak terhalang dari pintu-pintu surga”. (HR.
Tirmidzi)

Allah Ta’ala berfirman (dalam hadits Qudsi):
“Aku yang ketiga (bersama) dua orang yang berserikat dalam usaha
(dagang) selama yang seorang tidak berkhianat (curang) kepada yang
lainnya. Apabila berlaku curang, maka Aku keluar dari mereka.” (HR.
Abu Dawud)

“Sesama Muslim adalah saudara. Oleh karena itu seseorang tidak boleh
menjual barang yang ada cacatnya kepada saudaranya, namun ia tidak
menjelaskan cacat tersebut.” (HR. Ahmad dan lbnu Majaah)

“Tidak halal bagi seseorang menjual sesuatu barang dengan tidak
menerangkan (cacat) yang ada padanya, dan tidak halal bagi orang yang
tahu (cacal) itu, tapi tidak menerangkannya.” (HR. Baihaqie)

“Sebaik-baik orang Mu`min itu ialah, mudah cara menjualnya, mudah cara
membelinya, mudah cara membayarnya dan mudah cara menagihnya.” (HR.
Thabarani)

2. Amanah (Tanggungjawab)

Setiap pedagang harus bertanggung jawab atas usaha dan pekerjaan dan
atau jabatan sebagai pedagang yang telah dipilihnya tersebut. Tanggung
jawab di sini artinya, mau dan mampu menjaga amanah (kepercayaan)
masyarakat yang memang secara otomatis terbeban di pundaknya.

Sudah kita singgung sebelumnya bahwa –dalam pandangan Islam– setiap
pekerjaan manusia adalah mulia. Berdagang, berniaga dan ataujual beli
juga merupakan suatu pekerjaan mulia, lantaran tugasnya antara lain
memenuhi kebutuhan seluruh anggota masyarakat akan barang dan atau
jasa untuk kepentingan hidup dan kehidupannya.

Dengan demikian, kewajiban dan tanggungjawab para pedagang antara
lain: menyediakan barang dan atau jasa kebutuhan masyarakat dengan
harga yang wajar, jumlah yang cukup serta kegunaan dan manfaat yang
memadai. Dan oleh sebab itu, tindakan yang sangat dilarang oleh Islam
–sehubungan dengan adanya tugas, kewajiban dan tanggung jawab dan para
pedagang tersebut– adalah menimbun barang dagangan.

Menimbun barang dagangan dengan tujuan meningkatkan pemintaan dengan
harga selangit sesuai keinginan penimbun barang, merupakan salah satu
bentuk kecurangan dari para pedagang dalam rangka memperoleh
keuntungan yang berlipat ganda.

Menimbun barang dagangan –terutama barangbarang kehutuhan pokok–
dilarang keras oleh Islam! Lantaran perbuatan tersebut hanya akan
menimbulkan keresahan dalam masyarakat. Dan dalam prakteknya,
penimbunan barang kebutuhan pokok masyarakat oleh sementara pedagang
akan menimbulkan atau akan diikuti oleh berhagai hal yang
negatifseperti; harga-harga barang di pasar melonjak tak terkendali,
barang-barang tertentu sulit didapat, keseimbangan permintaan dan
penawaran terganggu, munculnya para spekulan yang memanfaatkan
kesempatan dengan mencari keuntungan di atas kesengsaraan masyarakat
dan lain sebagainya.

Ada banyak hadits Rasulullah yang menyinggung tentang penimbunan
barang dagangan, baik dalam bentuk peringatan, larangan maupun
ancaman, yang .ntara lain sebagai berikut:

Sabda Rasulullah (yang artinya):
“Allah tidak akan berbelas kasihan terhadap orang-orang yang tidak
mempunyai belas kasihan terhadap orang lain.” (HR. Bukhari)

“Barangsiapa yang melakukan penimbunan terhadap makanan kaum Muslimin,
Allah akan menimpanya dengan kerugian atau akan terkena penyakit
lepra.” (HR. Ahmad)

“Orang yang mendatangkan barang dagangan untuk dijual, selalu akan
memperoleh rejeki, dan orang yang menimbun barang dagangannya akan
dilaknat Allah.” (HR. lbnu Majjah)

“Barangsiapa yang menimbun makanan, maka ia adalah orang yang
berdosa.” (HR. Muslim dan Abu Daud)

“Barangsiapa yang menimbun makanan selama 40 hari, maka ia akan lepas
dari tanggung jawab Allah dan Allah pun akan cuci tangan dari
perbuatannya.” (HR. Ahmad)

3. Tidak Menipu

Dalam suatu hadits dinyatakan, seburuk-buruk tempat adalah pasar. Hal
ii lantaran pasar atau termpat di mana orang jual beli itu dianggap
sebagal sebuah tempat yang di dalamnya penuh dengan penipuan, sumpah
palsu, janji palsu, keserakahan, perselisihan dan keburukan tingkah
polah manusia lainnya.

Sabda Rasulullah SAW:
“Sebaik-baik tempat adalah masjid, dan seburk-buruk tempat adalah
pasar”. (HR. Thabrani)

“Siapa saja menipu, maka ia tidak termasuk golonganku”. (HR. Bukhari)

Setiap sumpah yang keluar dan mulut manusia harus dengan nama Allah.
Dan jika sudah dengan nama Allah, maka harus benar dan jujur. Jika
tidak henar, maka akibatnya sangatlah fatal.

Oleh sehab itu, Rasulululah SAW selalu memperingatkan kepada para
pedagang untuk tidak mengobral janji atau berpromosi secara berlebihan
yang cenderung mengada-ngada, semata-mata agar barang dagangannya
laris terjual, lantaran jika seorang pedagang berani bersumpah palsu,
akibat yang akan menimpa dirinya hanyalah kerugian.

Sabda Rasulullah SAW:
“Jangan bersumpah kecuali dengan nama Allah. Barangsiapa bersumpah
dengan nama Allah, dia harus jujur (benar). Barangsiapa disumpah
dengan nama Allah ia harus rela (setuju). Jika tidak rela (tidak
setuju), niscaya lepaslah ia dari pertolongan Allah.” (HR. lbnu Majaah
dan Aththusi)

“Ada tiga kelompok orang yang kelak pada hari kiamat Allah tidak akan
berkata-kata, tidak akan melihat, tidak akanpula mensucikan mereka.
Bagi mereka azab yang pedih. Abu Dzarr berkata, “Rasulullah
mengulang-ulangi ucapannya itu, dan aku hertanya,” Siapakah mereka
itu, ya Rasulullah?” Beliau menjawab, “Orang yang pakaiannya menyentuh
tanah karena kesombongannya, orang yang menyiarkan pemberiannya
(mempublikasikan kebaikannya), dan orang yang menjual dagangannya
dengan sumpah palsu.” (HR. Muslim)

“Sumpah dengan maksud melariskan barang dagangan adalah penghapus
barokah.” (HR. Bukhari dan Muslim)

“Sumpah (janji) palsu menjadikan barang dagangan laris, (tetapi)
menghapus keberkah an”. (HR. Tirmidzi, Nasal dan Abu Dawud)

“Berhati-hatilah, jangan kamu bersumpah dalam penjualan. Itu memang
melariskan jualan tapi menghilangkan barokah (memusnahkan
perdagangan).” (HR. Muslim)

Sementara itu, apa yang kita alami selama ini, jual beli, perdagangan
dan atau perniagaan di zaman sekarang –terutama di pasar-pasar bcbas–
tidak banyak lagi diketemukan orang yang mau memperhatikan etiket
perdagangan Islam. Bahkan nyaris, setiap orang –penjual maupun
pembeli– tidak mampu lagi membedakan barang yang halal dan yang haram,
dimnana keadaan ini sesungguhnya sudah disinyalir akan terjadi oleh
Rasulullah SAW, sebagaimana dinyatakan dalam haditsnya.

Dari Abu Hurairah, dari Nabi SAW, bersabda: “Akan datang pada manusia
suatu zaman yang seseorang tidak memperhatikan apakah yang diambilnya
itu dan barang yang halal atau haram.” (HR. Bukhari)

Memang sangat disayangkan, mengapa hal seperti ini harus terjadi?
Sementara tidak hanya sekali saja Rasulullah SAW memberi peringatan
kepada para pedagang untuk berbuat jujur, tidak menipu dalam berjual
beli agar tidak merugikan orang lain. Sehagaimana pernyataan beberapa
hadits di bawah ini:

Dari Abu Hurairah berkata, Rasulullah SAW bersabda: “Janganlah
seseorang menjual akan suatu barang yang telah dibeli oleh orang
lain”. (HR. Bukhari)

4. Menepati Janji

Dari lbnu Umar: Bahwa seorang laki-laki menyatakan pada Nabi SAW bahwa
ia tertipu ketika berjual heli. Maka Nabi menyatakan: “Jika engkau
berjualbeli maka katakanlah: Tidak boleh menipu”. (HR. Bukhari)

Seorang pedagang juga dituntut untuk selalu menepati janjinya, baik
kepada para pembeli maupun di antara sesama pedagang, terlebih lagi
tentu saja, harus dapat menepati janjinya kepada Allah SWT.

Janji yang harus ditepati oleh para pedagang kepada para pembeli
misalnya; tepat waktu pengiriman, menyerahkan barang yang kwalitasnya,
kwantitasnya, warna, ukuran dan atau spesifikasinya sesuai dengan
perjanjian semula, memberi layanan puma jual, garansi dan lain
sebagainya. Sedangkan janji yang harus ditepati kepada sesama para
pedagang misalnya; pembayaran dengan jumlah dan waktu yang tepat.

Sementara janji kepada Allah yang harus ditepati oleh para pedagang
Muslim misalnya adalah shalatnya. Sebagaimana Firman Allah dalam Al
Qur’an:

“Apabila telah ditunaikan shalat, maka bertebaranlah kamu di muka
bumi; dan carilah karunia Allah dan ingatlah Allah banyak-banyaknya
supaya kamu beruntung. Dan apabila mereka melihat perniagaan atau
permainan, mereka bubar untuk menuju kepadaNya dan mereka tinggalkan
kamu sedang berdiri (berkhutbah). Katakanlah: “Apa yang di sisi Allah
adalah lebih baik daripada permainan dan perniagaan”, dan Allah
sebaik-baik pemberi rezki” (Q.S Al Jumu’ah (62):10-11)

Dengan demikian, sesibuk-sibuknya urusan dagang, urusan bisnis dan
atau urusan jual beli yang sedang ditangani –sebagai pedagang Muslim–
janganlah pernah sekali-kali meninggalkan shalat. Lantaran Allah SWT
masih memberi kesempatan yang sangat luas kepada kita untuk mencari
dan mendapatkan rejeki setelah shalat, yakni yang tercermin melalui
perintah-Nya; bertebaran di muka bumi dengan mengingat Allah SWT
banyak- banyak supaya beruntung.

5. Murah Hati

Dalam suatu hadits, Rasulullah SAW menganjurkan agar para pedagang
selalu bermurah hati dalam melaksanakan jual beli. Murah hati dalam
pengertian; ramah tamah, sopan santun, murah senyum, suka mengalah,
namun tetap penuh tanggungjawab.

Sabda Rasulullah SAW:
“Allah berbelas kasih kepada orang yang murah hati ketika ia menjual,
bila membeli dan atau ketika menuntut hak”. (HR. Bukhari)

“Allah memberkahi penjualan yang mudah, pembelian yang mudah,
pembayaran yang mudah dan penagihan yang mudah”. (HR. Aththahawi)

6. Tidak Melupakan Akhirat

Jual beli adalah perdagangan dunia, sedangkan melaksanakan kewajiban
Syariat Islam adalah perdagangan akhirat. Keuntungan akhirat pasti
lebih utama ketimbang keuntungan dunia. Maka para pedagang Muslim
sekali-kali tidak boleh terlalu menyibukkan dirinya semata-mata untuk
mencari keuntungan materi dengan meninggalkan keuntungan akhirat.

Sehingga jika datang waktu shalat, mereka wajib melaksanakannya
sebelum habis waktunya. Alangkah baiknya, jika mereka bergegas
bersama-sama melaksanakan shalat berjamaah, ketika adzan telah
dikumandangkan. Begitu pula dengan pelaksanaan kewajiban memenuhi
rukun Islam yang lain. Sekali-kali seorang pedagang Muslim hendaknya
tidak melalaikan kewajiban agamanya dengan alasan kesibukan perdagangan.

Sejarah telah mencatat, bahwa dengan berpedoman kepada etika
perdagangan Islam sebagaimana tersebut di atas, maka para pedagang
Arab Islam tempo dulu mampu mengalami masa kejayaannya, sehinga mereka
dapat terkenal di hampir seluruh penjuru dunia. (Sumber: Al ‘Amal Fil
Islam karya Izzuddin Khatib At Tamimi (terj.) Bisnis Islam, alih
bahasa H. Azwier Butun, Penerbit PT Fikahati Aneska Jakarta)
<\span>

0 komentar:

Posting Komentar

Recent Comments

Labels

Blogumulus by Roy Tanck and Amanda Fazani
Template by : Kendhin x-template.blogspot.com