Oleh: Ahmad Gozali
Dikutip dari Republika, 25 April 2010
Dikutip dari Republika, 25 April 2010
Sumber: http://www.perencanakeuangan.com/artikel/ahmad%20gozali/menyiasati%20gaji%20pas-pasan/
Assalamualaikum wr wb,
Saya mau minta tolong tanya masalah perencanaan keuangan. Dengan gaji sama suami cuma Rp 2,3 juta, bisa >nggak ya kalau kami kredit rumah via Bank Muamalat atau BNI griya? Angsurannya Rp 900 ribuan/bulan selama 15 tahun. Belum bayar yang momong anak, listrik telepon, dan kebutuhan susu anak. Saya bingung hitung-hitungannya kok pas-pasan banget . Mungkin... mungkin Pak Gozali tahu bagaimana saya harus membagi-bagi uangnya. Ditunggu jawabannya, ya...
Jazakillah khairan katsiir.
Nur J
Jawaban:
Waalaikumsalam wr wb,
Kalau ditanya bisa atau tidak, ada dua sudut pandang yang kita pakai. Sudut pandang bank, dan sudut pandang kita sendiri.Pertama, kita perlu perhatikan sudut pandang bank. Karena walaupun kita bisa, tapi kalau menurut bank tidak bisa, maka bank tidak akan mengucurkan kreditnya.
Bank memiliki standar bahwa cicilan bank tidak lebih dari sepertiga penghasilan. Penghasilan suami-istri bisa digabungkan dalam perhitungan ini. Dengan penghasilan gabungan Rp 2,3 juta, maka cicilan Rp 900 ribu melebihi batas sepertiga penghasilan. Artinya, bank mungkin tidak mau mengucurkan kreditnya, atau memberikan syarat tambahan agar bisa disetujui. Misalnya, dengan menambah down payment (DP) agar cicilannya bisa lebih kecil sampai Rp 800 ribu per bulan.
Selain menambah DP, alternatif lainnya bisa dengan menambah jangka waktu kredit (kalau belum mentok 15 tahun), mencari alternatif rumah lain yang lebih murah, atau mengajukan KPR bersubsidi (dengan syarat tertentu).
Nah, sekarang bisa atau tidak dari sudut pandang kita sendiri. Jika tadi berkaitan dengan peraturan orang lain, yaitu peraturan yang dibuat oleh bank. Suka tidak suka, kita ikuti aturan mereka. Tapi, kalau kebutuhan hidup, kita sendiri yang membuat peraturannya. Karena itu uang kita sendiri, dan kehidupan kita sendiri. Kitalah yang mengaturnya, bukan kita yang diatur.
Kalau bank memberi syarat ini dan itu untuk urusan kredit, maka kebutuhan hidup kontrolnya ada di tangan kita sendiri. Apakah harus ada pos pengeluaran untuk gaji asisten? Jika ya berapa besarnya? Apakah harus ada pos pengeluaran untuk beli susu anak? Jika ya, berapa besarnya? Memang benar harus ada pengeluaran untuk bayar listrik dan telepon, tapi bukankah kita sendiri yang menentukan besar atau kecilnya? Kita harus keluar uang untuk makanan, tapi jumlahnya kita sendiri yang atur. Kita perlu hiburan, tapi ngapain dan perlu uang berapa, kita juga yang atur.
Maksud saya adalah, pengeluaran untuk biaya hidup, semuanya fleksibel, bisa diatur. Kalau dari awal kita sudah menganggap pengeluaran itu fixed , tidak bisa ditawar-tawar, maka kita akan kehilangan solusi untuk mengatasinya. Tapi kalau kita menganggapnya fleksibel, bisa diatur, maka kita akan memegang kendali.
Jika penghasilannya tetap, lalu ada pengeluaran yang bertambah, misalnya untuk bayar cicilan utang, maka tentu harus ada pengeluaran yang dikurangi. Dan, karena kita sudah menganggapnya fleksibel, maka dengan mudah kita mengaturnya. Buktinya, ada keluarga lain yang bisa hidup dengan gaji Rp 1,5 juta saja.
Untuk membiasakan dengan penghasilan yang sudah dipotong cicilan, jika KPR-nya disetujui, sambil menunggu proses pembangunan dan akad kredit, mulai sekarang cicil 1/3 dari gaji ke dalam rekening tabungan yang terpisah. Kalau KPR-nya disetujui, kita tidak akan kaget lagi karena sudah beberapa bulan sebelumnya menyesuaikan diri. Kalaupun KPR-nya tidak disetujui, maka tetap terusnya kebiasaan saving yang 1/3 tadi. Dan gunakan itu untuk menambah DP pada proses KPR berikutnya agar disetujui. Itu saja dari saya, mudah-mudahan bisa membantu. Wassalam.
Ahmad Gozali
Perencana Keuangan
Saya mau minta tolong tanya masalah perencanaan keuangan. Dengan gaji sama suami cuma Rp 2,3 juta, bisa >nggak ya kalau kami kredit rumah via Bank Muamalat atau BNI griya? Angsurannya Rp 900 ribuan/bulan selama 15 tahun. Belum bayar yang momong anak, listrik telepon, dan kebutuhan susu anak. Saya bingung hitung-hitungannya kok pas-pasan banget . Mungkin... mungkin Pak Gozali tahu bagaimana saya harus membagi-bagi uangnya. Ditunggu jawabannya, ya...
Jazakillah khairan katsiir.
Nur J
Jawaban:
Waalaikumsalam wr wb,
Kalau ditanya bisa atau tidak, ada dua sudut pandang yang kita pakai. Sudut pandang bank, dan sudut pandang kita sendiri.Pertama, kita perlu perhatikan sudut pandang bank. Karena walaupun kita bisa, tapi kalau menurut bank tidak bisa, maka bank tidak akan mengucurkan kreditnya.
Bank memiliki standar bahwa cicilan bank tidak lebih dari sepertiga penghasilan. Penghasilan suami-istri bisa digabungkan dalam perhitungan ini. Dengan penghasilan gabungan Rp 2,3 juta, maka cicilan Rp 900 ribu melebihi batas sepertiga penghasilan. Artinya, bank mungkin tidak mau mengucurkan kreditnya, atau memberikan syarat tambahan agar bisa disetujui. Misalnya, dengan menambah down payment (DP) agar cicilannya bisa lebih kecil sampai Rp 800 ribu per bulan.
Selain menambah DP, alternatif lainnya bisa dengan menambah jangka waktu kredit (kalau belum mentok 15 tahun), mencari alternatif rumah lain yang lebih murah, atau mengajukan KPR bersubsidi (dengan syarat tertentu).
Nah, sekarang bisa atau tidak dari sudut pandang kita sendiri. Jika tadi berkaitan dengan peraturan orang lain, yaitu peraturan yang dibuat oleh bank. Suka tidak suka, kita ikuti aturan mereka. Tapi, kalau kebutuhan hidup, kita sendiri yang membuat peraturannya. Karena itu uang kita sendiri, dan kehidupan kita sendiri. Kitalah yang mengaturnya, bukan kita yang diatur.
Kalau bank memberi syarat ini dan itu untuk urusan kredit, maka kebutuhan hidup kontrolnya ada di tangan kita sendiri. Apakah harus ada pos pengeluaran untuk gaji asisten? Jika ya berapa besarnya? Apakah harus ada pos pengeluaran untuk beli susu anak? Jika ya, berapa besarnya? Memang benar harus ada pengeluaran untuk bayar listrik dan telepon, tapi bukankah kita sendiri yang menentukan besar atau kecilnya? Kita harus keluar uang untuk makanan, tapi jumlahnya kita sendiri yang atur. Kita perlu hiburan, tapi ngapain dan perlu uang berapa, kita juga yang atur.
Maksud saya adalah, pengeluaran untuk biaya hidup, semuanya fleksibel, bisa diatur. Kalau dari awal kita sudah menganggap pengeluaran itu fixed , tidak bisa ditawar-tawar, maka kita akan kehilangan solusi untuk mengatasinya. Tapi kalau kita menganggapnya fleksibel, bisa diatur, maka kita akan memegang kendali.
Jika penghasilannya tetap, lalu ada pengeluaran yang bertambah, misalnya untuk bayar cicilan utang, maka tentu harus ada pengeluaran yang dikurangi. Dan, karena kita sudah menganggapnya fleksibel, maka dengan mudah kita mengaturnya. Buktinya, ada keluarga lain yang bisa hidup dengan gaji Rp 1,5 juta saja.
Untuk membiasakan dengan penghasilan yang sudah dipotong cicilan, jika KPR-nya disetujui, sambil menunggu proses pembangunan dan akad kredit, mulai sekarang cicil 1/3 dari gaji ke dalam rekening tabungan yang terpisah. Kalau KPR-nya disetujui, kita tidak akan kaget lagi karena sudah beberapa bulan sebelumnya menyesuaikan diri. Kalaupun KPR-nya tidak disetujui, maka tetap terusnya kebiasaan saving yang 1/3 tadi. Dan gunakan itu untuk menambah DP pada proses KPR berikutnya agar disetujui. Itu saja dari saya, mudah-mudahan bisa membantu. Wassalam.
Ahmad Gozali
Perencana Keuangan
0 komentar:
Posting Komentar